Kamis, 22 Mei 2008

andri

http://music-chord-guitar.blogspot.com/" target="_blank">music-chord-guitar">http://i206.photobucket.com/albums/bb236/poeratie/NEWMCG.gif"/>

Selasa, 20 Mei 2008

andri

Teman-teman yang bisa main gitar tentunya pengen tau kan kord-kord gitar maupun tab-tab gitar lagu kesayangan? Tapi, di mana? Dan bagaimana cara nyarinya? Di sini saya sertakan list situs-situs yang memuat kord dan tab gitar lagu mancanegara maupun lokal. Berikut listnya:

Musik Lokal:

www.chordfrenzy.com

www.liriklagumusik.com

www.kordkita.web.id

Musik Mancanegara:


www.guitartabs.cc

www.guitartabs.com

www.ultimate-guitar.com

www.chordie.com

www.fretplay.com

www.911tabs.com

www.metaltabs.com

www.guitarnotes.com

www.findatab.com

www.olga.net

www.tabcrawler.com

www.e-chords.com

Cara Mencari Tab & Kord Di Google Search engine:

Cari di google dengan kata kunci (tanpa <>):
- guitar chord
- guitar tab
- kord gitar
- tab gitar

Contoh: ‘nidji - biarlah kord gitar’, ‘nidji - biarlah guitar chord’, dll
Bisa digunakan kata kunci lain yang lebih tepat.

Enjoy! Moga membantu,,,

Plus Jangan lupa tinggalin comment untuk yang mo di-add or nambahin sitenya…


Categories:

Kamis, 15 Mei 2008

Konsep Islam Tentang Perkawinan (bag.2)

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
[1]. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

[2]. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur.
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].

[3]. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :

“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang bail. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. [Al-Baqarah : 229].

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduany sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diternagkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. [Al-Baqarah : 230]

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Sialm dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu: Harus Kafa’ah dan Shalihah.

[a]. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya [Al-Hujurat : 13]

“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. [Al-Hujurat : 13].

Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahanakan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175]

[b]. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihan dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :

“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. [An-Nisaa : 34]

Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :

“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.

Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

[4]. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenunya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? “Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. [Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih].

[5]. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :

“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. [An-Nahl : 72]

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

sumber : www.almanhaj.or.id

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua Lebih Didahulukan Atas Jihad Dan Hijrah

Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah

Yang saya maksudkan dengan jihad di sini adalah jihad yang berhukum fardhu kifayah. Sedangkan jihad yang fardhu ‘ain, maka tidak ada keharusan adanya keridhaan kedua orang tua akan hal tersebut.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berjihad, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya.

“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya, masih.”

Beliau pun bersabda

“Maka pada keduanya, hendaklah engkau berjihad (berbakti).’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Di dalam kitab Subulus Salaam (III/78), ash-Shan’ani mengatakan, “Lahiriahnya sama, apakah itu jihad fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah, dan baik merasa keberatan pada kedua orang tuanya atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwasanya diharamkan berjihad bagi seorang anak jika dilarang oleh kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dengan syarat keduanya harus muslim, karena berbakti kepada keduanya adalah fardhu ‘ain sementara jihad tersebut adalah fardhu kifayah, tetapi dalam jihad yang hukumnya fardhu ‘ain, maka lebih didahulukan jihad.

Jika ada yang mengatakan, ‘Berbakti kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain juga sementara jihad pada saat diwajibkan, maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan demikian, keduanya berkedudukan sama, lalu di mana letak pendahuluan jihad?’

Dapat saya katakan, ‘Karena kemaslahatannya lebih umum, di mana jihad dimaksudkan untuk menjaga agama sekaligus membela kaum muslimin, sehingga kemaslahatannya bersifat umum, maka yang didahulukan atas yang lainnya dan ia lebih didahulukan atas kemaslahatan penjagaan fisik. Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan keagungan berbakti kepada kedua orang tua, dimana ia lebih utama daripada jihad (yang hukumnya fardhu kifayah)”.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Ada seorang laki-laki menghampiri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berucap, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad dengan mengharapkan pahala dari Allah.’ Beliau bertanya, ‘Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya, masih, bahkan kedua-duanya.’ Maka beliau bersabda.

“Berarti engkau menginginkan pahala dari Allah?” Dia menjawab, ‘Ya.’ “

Beliau bersabda:

“Kembalilah kepada kedua orang tuamu, lalu pergaulilah mereka dengan baik” [HR. Muslim]

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Aku pernah tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘Shalat pada waktunya.’ ‘Lalu apa lagi?’ Tanyaku. Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Lebih lanjut, kutanyakan, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah.’” [Muttafaq ‘alaih]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Ada seseorang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berucap, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan membiarkan kedua orang tuaku menangis.’ Maka beliau bersabda.

“Kembalilah kepada keduanya, lalu buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis” [HR. Abu Dawud dengan sanad yang hasan]

MEMINTA IZIN KEPADA KEDUA ORANG TUA DALAM MENUNTUT ILMU
Syaikh Abu ‘Abdirrahman Muqbil bin Hadi al-Wadi’i hafizhahullah Ta’ala mengatakan, “Berhati-hatilah, jangan sampai kedua orang tuamu yang bodoh menghalangimu untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Sebab, sangat banyak sekali dari para orang tua yang hatinya dipenuhi dengan cinta dunia dan berpandangan yang sempit sekali, mereka tidak memikirkan, kecuali masa depan anak di dunia”

Dan dalam kitab Masaa-il Ibnu Hani’ (II/164) dikatakan, ‘Aku pernah mendengar Abu ‘Abdillah -yakni, Ahmad bin Hanbal- ditanya tentang seseorang yang meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk menuntut ilmu hadits dan hal-hal yang bermanfaat baginya, maka dia berkata, ‘Jika menyangkut penuntutan ilmu, maka aku berpendapat tidak ada masalah baginya untuk tidak meminta izin kepada keduanya dalam mencari ilmu dan hal-hal yang bermanfaat baginya.’’

Dan saya tidak menyuruhmu untuk durhaka kepada kedua orang tua dan tidak juga memutuskan silaturahmi dengan keduanya, tetapi saya hanya menguatkan mana yang lebih bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Adapun jika keduanya membutuhkanmu untuk memberi nafkah atau berbakti kepada keduanya, maka tidak boleh meninggalkan keduanya. Hal itu didasarkan pada hadits.

“Dan pada keduanya berjihadlah (berhati-hatilah)”

Selain itu, hafizhahullah Ta’ala juga berkata di dalam kitab Ijaabatus Saa-il ‘alaa Ahammil Masaa-il, hal. 510, sebagai jawaban bagi penanya, dimana dia bertanya, “Saya mempunyai keinginan untuk menuntut ilmu sementara orang tuaku melarangku, lalu apakah saya boleh melanggarnya dan tetap keluar mencari ilmu? Tolong beritahu kami, insya Allah engkau akan mendapatkan pahala.’

Syaikh ‘Abdurrahman hafizhahullah mengatakan, “Engkau memiliki keinginan menuntut ilmu, tetapi orang tuamu melarangmu? Apakah boleh bagimu atau tidak untuk pergi menuntut ilmu sedang orang tuamu melarangmu?

Jika orang tuamu memang membutuhkanmu untuk mencarikan rizki dan menghidupinya sementara dia tidak memiliki siapa-siapa kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, baru kemudian dirimu, maka engkau tidak boleh meninggalkannya sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda.

“Cukuplah seseorang berdosa karena menyia-nyiakan orang yang diberinya makan”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika seseorang meminta izin kepada beliau untuk ikut berjihad, lalu beliau berkata kepadanya, ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya, masih.’ Maka beliau bersabda, ‘Maka pada keduanya berjihadlah”

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” [Ath-Thalaaq : 2]

Jika engkau telah bertakwa kepada Allah, mudah-mudahan Allah Ta’ala akan menuntun orang untukmu yang akan mengajarimu atau minimal engkau akan membeli kaset-kaset ilmiah.’”

MEMINTA IZIN KEPADA KEDUA ORANG TUA
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahui ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah berada di salah satu majelis kaum Anshar, tiba-tiba Abu Musa datang seolah dia ketakutan seraya berkata, ‘Aku telah meminta izin tiga kali kepada ‘Umar, tetapi dia tidak memberiku izin, lalu aku kembali.’” Maka dia berkata, “Apa yang menghalangimu?” Maka Abu Musa mengatakan, “Aku telah meminta izin tiga kali tetapi dia tidak memberiku izin sehingga aku kembali dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Jika salah seorang di antara kalian meminta izin tiga kali lalu dia tidak diberi izin, maka hendaklah dia kembali…” [HR. Al-Bukhari]

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

“Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta izin kepada beliau yang ketika itu tengah berbaring bersamaku di atas kainku dari kulit domba. Lalu beliau memberikan izin kepadanya. Maka Fathimah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu telah mengutusku kepadamu untuk meminta keadilan mengenai puteri Abu Quhafah (‘Aisyah).” …Dan hadits yang panjang ini telah diketengahkan.
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 1060), ia berkata, Adam memberitahu kami, ia berkata, Syu’bah memberitahu kami dari Abu Ishaq, dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Muslim bin Nadzir berkata, Ada seseorang yang bertanya kepada Hudzaifah seraya berkata, “Apakah aku harus minta izin kepada ibuku?” Dia menjawab, “Jika engkau tidak minta izin kepadanya, maka engkau akan melihat suatu hal yang tidak engkau sukai.” Atsar ini hasan.

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam kitab al-Adab al-Mufrad (no. 1059), ia berkata: Muhammad bin Yusuf memberitahu kami, dia berkata, Sufyan memberitahu kami dari al-A’masy dari Ibrahim dari Alqamah, dia berkata, Ada seseorang datang kepada ‘Abdullah seraya bertanya, “Apakah aku harus minta izin kepada ibuku?” Dia menjawab, “Tidak pada setiap hal dari diri ibumu, engkau ingin melihatnya.” Atsar ini shahih.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM


TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
[1]. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo


Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai

Jangan Asal Berbicara dalam Agama

Alloh berfirman kepada Nabi-Nya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertangungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)

Alloh berfirman tentang Nabi Nuh ketika dia meminta agar anaknya diselamatkan:
“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui [...]

Memahami Arti dari Kata-kata berbahasa Arab

“Assalaamu’alaikum akhi…..”
“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakkatuh….”
“ Bagaimana keadaan antum hari ini..?”
“Khoir, alhamdulillah….syukran katsiran….”
“Akhi, antum sudah lama ngaji…?”
“Ana baru-baru aja kog akh, ‘afwan, antum kog tanya seperti itu kepada ana..?”
“Ngak, ana ngak punya maksud buruk kog akh, ana hanya ingin menggembirakan hati ana karena Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan hidayah-Nya kepada kita….”
“Na’am akhi…ana juga bersyukur sekali Allah [...]

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

MUQODIMAH
Segala puji bagi Alloh Ta’ala Yang Mengaruniakan rezeki tanpa batas, Yang Maha Pemurah lagi Maha Pemberi. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, kerabat, sahabat, dan pengikutnya yang setia hingga hari kiamat.

KIAT AGAR DIDO’AKAN OLEH PARA MALAIKAT

Makhluk Allah yang satu ini sungguh sangat taat kepada Allah dan tidak pernah melanggar seluruh larangan Allah. Dialah para Malaikat yang selalu patuh kepada Allah. Dilain sisi ternyata malaikat juga suka mendo’akan para hamba-Nya, terutama manusia. Akan tetapi tidak sembarangan manusia bisa mendapatkan keberkahan dari do’anya para malaikat. Hanya manusia tertentulah yang bakal meraih keberkahan [...]

Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah yaitu generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu [1] berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

” Artinya : Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.” [Ali Imran: 106]

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.” [2]

Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah di antaranya:

[1]. Ayyub as-Sikhtiyani Rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

[2]. Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghuraba’(orang yang terasing). Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [3]

[3]. Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah [4] (wafat th. 187 H) berkata: “…Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

[4]. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallaam Rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Imaan [5] : “…Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, ber-tambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian…”

[5]. Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah [6] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab Ahlul ‘Ilmi, Ash-habul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul j dan para Shahabatnya, dari semenjak zaman para Shahabat Radhiyallahu Ajmai’in hingga pada masa sekarang ini…”

[6]. Imam Ibnu Jarir ath-Thabary Rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “…Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa ahli Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [7]

[7]. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawy Rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (‘Aqidah Thahawiyah): “…Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak untuk melawan Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlu Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahary, Imam ath-Thahawy serta yang lainnya.

Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyah, padahal Asy’ariyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[8]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan Radhiyallahu anhuma. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penafsir al-Qur-an dan pemuka kaum muslimin di bidang tafsir. Dia diberi gelar ‘pena’ dan juga ‘laut’, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab. Beliau dipanggil oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu ‘anhuma pernah menjadi wali pada zaman ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhu tahun 35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330 no. 4781).
[2]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Daarus Salaam), Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/79 no. 74).
[3]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/71 no. 49 dan 50).
[4]. Beliau Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud at-Tamimy t, adalah seorang yang terkenal zuhud, berasal dari Khuraasaan dan bermukim di Makkah, tsiqah, wara’, ‘alim, diambil riwayatnya oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Taqriibut Tahdziib (II/15 no. 5448), Tahdziibut Tahdziib (VII/264 no. 540).
[5]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al-Albany Rahimahullah
[6]. Beliau Rahimahullah adalah seorang Imam yang luar biasa dalam kecerdasan, kemuliaan, keimaman, kewara’an, kezuhudan, hafalan, alim dan faqih. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani, lahir pada tahun 164 H. Seorang Muhaddits utama Ahlus Sunnah. Pada masa al-Ma’mun beliau dipaksa mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk, sehinga beliau dipukul dan dipenjara, namun beliau menolak mengatakannya. Beliau tetap mengatakan al-Qur-an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Beliau meninggal di Baghdad. Beliau menulis beberapa kitab dan yang paling terkenal adalah al-Musnad fil Hadiits (Musnad Imam Ahmad). Lihat Siyar A’lamin Nubalaa’ (XI/177 no. 78).
[7]. Lihat kitab Shariihus Sunnah oleh Imam ath-Thabary Rahimahullah’
[8]. Lihat kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Baa Karim Muhammad Baa ‘Abdullah (hal. 41-44)

sumber : www.almanhaj.or.id

BERHIAS DENGAN AKHLAQ

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.

Apakah hari perhitungan itu hanya sehari .?

Jawab :

Memang hari perhitungan itu hanya sehari, akan tetapi sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala.

“Artinya : Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya, (Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”. (Al-Ma’arij : 1-4).

Yakni, azab ini akan menimpa orang-orang kafir dalam sehari yang kadarnya limu puluh ribu tahun. Dalam hadits Shahih Muslim disebutkan hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Tiada seorangpun dari pemilik emas atau pemilik perak yang tidak menunaikan haknya, melainkan pada hari kiamat akan dibentangkan untuknya papan dari logam dan dipanaskan di atasnya dalam naar Jahannam, lalu dipangganglah lambungnya, dahinya dan punggungnya. Ketika telah dingin, dikembalikan lagi dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun sehingga tertunaikanlah segala yang berkaitan dengan hamba“. Hari yang panjang ini adalah hari yang menyusahkan bagi orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan adalah (hari itu), hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang yang kafir”. (Al-Furqan : 26).

“Artinya : Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafi lagi tidak mudah”. (Al-Mudatsir : 10).

Namun dapat dipahami dari dua ayat ini bahwa bagi orang-orang mukmin adalah mudah. Hari yang amat panjang ini dan penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan perkara-perkara yang luar biasa djadikan mudah oleh Allah Ta’ala bagi orang mukmin dan menyusahkan bagi orang kafir. Kita memohon kepada Allah Ta’ala kiranya berkenan menjadikan kita dan saudara-saudara kita termasuk golongan yang diberi kemudahan oleh Allah pada hari kiamat.

Terlalu berlebihan dalam memikirkan dan menyelami masalah-masalah ghaib, seperti ini termasuk perbuatan tanatthu’ (berelebihan/melampui batas) yang pernah disinyalir oleh Nabi melalui sabdanya ;” Celakalah orang-orang yang berlebihan, celakalah orang-orang yang berlebihan, celakalah orang-orang yang berlebihan”.

Tugas kita sebagai manusia dalam masalah-masalah semacam ini adalah pasrah saja dan mengambil zhahirnya makna tanpa perlu menyelami atau berusaha mengqiyaskan dengan hal-hal yang terdapat di dunia ; karena hal-hal yang ada di akhirat itu tidak seperti yang ada di dunia. Meskipun terdapat keserupaan secara makna, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Sebagai contoh, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa di dalam surga itu terdapat kurma, delima, buah-buahan, daging burung, madu, air, susu, khamr, dan sejenisnya namun Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya :Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (As-Sajadah : 17).

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah berkata :

“Artinya : Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah di dengar oleh telinga, dan belum pernah terdetik dalam hati maunusia”.

Nama-nama ini yang memiliki substansi di dunia ini tidak berarti bahwa hal itu sama seperti yang disebutkan oleh Allah mengenai hal-hal yang ada di akhirat, meskipun secara asalnya maknanya ada kesamaan.

Setiap hal-hal yang ghaib yang memiliki kesamaan asal maknanya dengan hal-hal yang bisa kita lihat di alam dunia ini tidak memiliki kesamaan dalam substansi. Karena kita dan siapa saja mesti memperhatikan kaedah ini dan hendaklah dalam menghadapi masalah-masalah yang ghaib seperti ini dibiarkan menurut makna zhairnya saja tanpa perlu berusaha mencari-cari arti lain dibalik itu.

Oleh karena itulah ketika Imam Malik Rahimahullah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Yang Maha Rahman beristiwa di atas ‘Arsy”.

“Bagaimana Ia beristiwa ?”, beliau menggeleng-gelengkan kepala sampai keringatnya bercucuran, karena pertanyaan tersebut terasa amat berat baginya. Kemudian beliau berkata yang kemudian jawaban beliau ini menjadi masyhur dan menjadi neraca untuk setiap apa yang disifatkan oleh Allah bagi diri-Nya. Kata beliau :”Istiwa’ itu tidak majhul, kaifiatnya tidak ma’qul (tidak masuk akal atau tidak bisa dimengerti), iman dengannya wajib, dan mempertanyakannya adalah bid’ah”.

Mempertanyakan secara mendalam mengenai masalah-masalah semacam ini merupakan bid’ah, karena para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum yang merupakan generasi yang paling tamak terhadap ilmu dan kebaikan, apalagi kalau dibandingkan dengan kita, tidak pernah bertanya kepada Nabi dengan sejenis pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Cukuplah kiranya mereka itu mejadi teladan.

Apa yang kami katakan disini yang ada kaitannya dengan masalah hari akhir, tak berbeda permasalahannya dengan segala yang terkait dengan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang Dia sendiri sifatkan untuk diri-Nya. Di antaranya : Dia memiliki ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, perkataan dan sebagainya. Maka substansi dari itu semua jika dinisbatkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tentu tidak ada sesuatupun yang menyerupai atau menyamainya, yang jika hal itu dinisbatkan kepada manusia apa yang menyerupainya. Setiap sifat mengikuti maushufnya (yang disifati). karena Allah Ta’ala tidak ada yang menyerupainya dalam hal sifat-sifat-Nya.

Pendek kata, bahwa hari akhir adalah satu hari. Ia merupakan hari yang amat menyusahkan bagi orang-orang kafir, dan bagi orang-orang mukmin ringan dan mudah. Segala pahala dan siksa yang ada di hari akhir itu termasuk perkara yang tidak bisa diketahui hakekatnya di kehidupan dunia ini, meskipun asal maknanya dapat kita ketahui dalam kehidupan dunia ini.